Kiai Maman Imanulhaq, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi, Majalengka
Kiai Maman Imanulhaq, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi, Majalengka (sumber: Istimewa)
Oleh: Kiai Maman Imanulhaq
Bumi, planet tempat kita berada saat ini dalam situasi krisis yang sangat serius, kompleks, dan multiglobal. Polusi dan kerusakan lingkungan hayati telah mencapai titik rawan dan meresahkan. Bila berlanjut, maka malapetaka akan menimpa anak cucu di kemudian hari.
Terjadinya perusakan (ifsad) dan pengotoran lingkungan sangat jelas di depan mata, tanpa ada kepedulian yang serius dari kita sebagai kaum beragama. Terkadang, penafsiran ajaran agama mendorong kita untuk melakukan eksploitasi alam. Di mana, khalifah fi al-ard sering disalahpahami sebagai legitimasi (pembenaran) akan penguasaan alam demi kepentingan sendiri secara egoistik.
Krisis ekologi dan perusakan alam seharusnya menjadi pertanyaan akan sikap keberagamaan kita. Pertama, kenapa terjadi kelalaian terhadap masalah lingkungan? Kedua, ajaran keagamaan yang mana yang harus kita eksplorasi demi memperoleh pengertian tentang lingkungan dan pemecahan akan masalah ekologi? Ketiga, apa tugas para agamawan (dai) dalam upaya penyelamatan lingkungan?
Menurut KH MA Sahal Mahfudz, krisis ekologi ini diakibatkan sikap dan pandangan (world view) manusia yang keliru--atau dalam bahasa Fritjof Capra disebut “krisis persepsi”--terhadap alam. Lebih tegas, pandangan serupa dikemukakan Profesor Graham Parkes dari Universitas Hawaii, bahwa pandangan keagamaan sekelompok masyarakat sangat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku terhadap alam dan lingkungannya.
Persepsi yang keliru misalnya, ditunjukkan sebagian kaum Muslimin yang mengacu kata kerjasakhara, yang berarti menundukkan, sehingga bertindak semena-mena dalam menaklukkan alam. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, karena kata sakhara--yang diulang dalam Alquran sebanyak 26 kali-- justru mengukuhkan sikap tauhid yang mengikat manusia untuk merealisasikan kesalehan atas alam.
Ini artinya, keberimanan pada Allah harus terealisasikan dalam kesadaran untuk menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan. Sebaliknya, kekafiran seseorang tercermin dari perilaku jahatnya pada alam, baik kejahatan material, seperti merusak lingkungan, pencurian hasil hutan (illegal logging) dan segala jenis perusakan di muka bumi, maupun kejahatan moral, semisal menuruti hawa nafsu, berbuat kezaliman, melanggar perjanjian serta manipulasi data.
Secara adil, Islam meminta manusia untuk memanfaatkan alam, sekaligus mengecam manusia yang mengeksploitasi dan merusak alam (QS al-Araf: 85). Hal ini demi kemaslahatan manusia, karena pelestarian alam dan lingkungan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan dan peningkatan taraf kehidupan manusia.
Kerahmatan semesta, salah satunya, bisa terwujud bila mekanisme pengelolaan alam mengacu pada semangat keberagamaan yang mampu memberi kekuatan moral dalam mengubah pola hubungan manusia yang dominatif terhadap alam, menjadi lebih ramah, peduli dan mencintai.
Mengutip Dr Imarah dalam kitab al-Islam huwa al-hal yang menyatakan,”al-Islam ilahy al-masdar wa insaniyyah al-maudhu, Islam adalah agama yang bersumber dari Allah dan berorientasi kemanusiaan.” Maka, penulis tegaskan,”al-Islam ilahy al-masdar wa alamiyah al-maudhu, Islam adalah agama yang bersumber dari Allah dan berorientasi lingkungan.”
Penulis: /AB